Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5: 1950-2007
Tan Malaka (1894-1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia menggunakan nama samaran sesudah 20 tahun mengembara. Pada masa Hindia Belanda ia bekerja untuk Komintern (organisasi komunis revolusioner internasional) dan sesudah 1927 memimpin Partai Repoeblik Indonesia yang ilegal dan antikolonial. Ia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, tokoh Tan Malaka yang legendaris itu berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Tetapi segera pula mereka tidak sejalan. Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Ia memilih jalan 'perjuangan' dan bukan jalan 'diplomasi'. Ia mendirikan Persatoean Perdjoangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat. Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali- dari Maret 1946 sampai september 1948. Sesudah pembebasan, Tan Malaka mulai dengan menghimpun pengikutnya yang telah bercerai-berai. pada November 1948 ia mendirikan partai baru yang bernama Partai Murba. Pembentukan dan perkembangan partai terganggu oleh serangan Belanda Kedua pada Desember 1948. Saat itu Tan Malaka bermarkas di Kediri di bawah perlindungan batalyon TNI yang dipimpin Sabarudin. Sabarudin memiliki reputasi buruk sebagai panglima yang bengis dan kejam. Tan Malaka mempersiapkan tentara dan rakyat melakukan perang gerilya terhadap Belanda. Ia ikut bergerilya ke Gunung Wilis. Dalam pamflet yang ditulisnya tiap hari ia menyerang Soekarno dan Hatta, dan TNI. Bahkan ia memproklamirkan dirinya sebagai Presiden Indonesia. Serentak TNI beraksi. Setelah suatu rangkaian peristiwa yang luar biasa Tan Malaka di eksekusi oleh satuan lokal TNI di Desa Selopanggung 21 Februari 1949. Kematiannya dirahasiakan. Perlawanan pendukungnya terhadap Belanda, TNI, dan Republik diteruskan. Namun, dukungan dari rakyat tidak terwujud, dan di desember 1949, waktu Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Partai Murba menghentikan perlawanan bersenjata. Buku ini memuat riwayat petualangan peringatan Tan Malaka dan percobaan Partai Murba untuk menjadi partai kiri yang terbesar. Tan Malaka sendiri hampir dilupakan, khususnya waktu Orde Baru. Sesudah itu ada kebangkitan kembali Tan Malaka. Banyak buku dari dan mengenai Tan Malaka diterbitkan. Bahkan kuburannya dibuka dalam tahun 2009. Partai Murba hidup merana, dan sekarang tidak ada kegiatan lagi. Yang paling aktif sekarang ialah keluarga adat Tan Malaka, yang didukung oleh pemerintah provinsi. Tetapi, sosok Tan Malaka masih kontroversial.