Intan Paramaditha

Intan Paramaditha's long-awaited English debut, announcing herself to the West as a startling and provocative new voice. Inspired by horror fiction, myths and fairy tales, Apple and Knife is an unsettling ride that swerves to the supernatural, exploring the danger and power of occupying a female body. These short fictions, set in the Indonesian everyday--in corporate boardrooms, in shanty towns, on dangdut stages--reveal a soupy otherworld stewing just beneath the surface. This is subversive feminist horror at its best, where men and women alike are arbiters of fear, and where revenge is sometimes sweetest when delivered from the grave.

Apple and Knife

Sihir Perempuan adalah kumpulan dongeng gelap tentang perempuan-perempuan yang tak patuh. Perempuan bisa menjadi apa saja: ibu, anak, karyawati yang baik, hingga boneka porselen. Namun dalam buku yang menghadirkan 11 cerita pendek ini, peran-peran yang seharusnya nyaman justru diteror oleh lanskap kelam penuh hantu gentayangan, vampir, dan pembunuh. Di sinilah perempuan dan pengalamannya yang beriak dan berdarah terpintal dalam kegelapan. Dalam Sihir Perempuan, Intan Paramaditha mengolah genre horor, mitos, dan cerita-cerita lama dengan perspektif feminis. Buku ini meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award (Kusala Sastra Khatulistiwa) di tahun 2005. Setelah 12 tahun, Sihir Perempuan diterbitkan ulang dengan kemasan baru dan ilustrasi untuk tiap cerita oleh Muhammad Taufi q (Emte).

Sihir Perempuan

Ini dongeng tiga dara. Bukankah selalu saja tentang mereka, sebab siapa yang tak kenal cerita rumah, keluarga, kita. Tapi ini juga dongeng yang tak kau minta, tentang yang tak terlihat, tak terdengar, terlupa.

Di tahun 1991, Hajjah Victoria binti Haji Tjek Sun meramal ketiga cucunya: satu cucu berkelana, satu menjaga, dan satu lagi menjadi pengantin. Ketika salah seorang berkhianat, dara yang tersisa terperangkap dan menoleh ke belakang, menelusuri dapur berisi kuali-kuali raksasa dan sumur terlarang di Rumah Victoria (kata orang jalan menuju rumah Nenek tak berujung), berhadapan dengan rahasia dan mimpi-mimpi yang macet di tengah jalan. Saat perjalanan dan kitab suci tidak lagi memberi perlindungan, dara yang lain hadir. Ia tak diundang dan menuntut penjelasan.

Malam Seribu Jahanam adalah novel kedua dari Intan Paramaditha. Mengolah kisah-kisah Islami dan mitos nusantara, novel ini merupakan dongeng gelap tentang sesal, malu, dan hantu—sebuah renungan tentang praktik beragama, retakan dan reruntuhan kelas menengah, serta rapuhnya persaudaraan.

Malam Seribu Jahanam

The Wandering's jumping-off point is the story of Dorothy and her ruby slippers, which readers are invited to slip on, allowing them to roam on a path of their own choosing between New York, Berlin, Jakarta, Lima and beyond. Sydney-based Indonesian writer Intan Paramaditha has been heralded as one of a growing group of brilliant female writers 'giving strength to Indonesian literature's newly empowered female voice' (South China Morning Post). Paramaditha's writing is exhilaratingly wild, fun and feminist, and she digs deep into ideas surrounding desire, identity and isolation, the highs and lows of global nomadism, and the freedoms and limitations of the choices we make. The Wandering is fierce and unconventional, inviting readers to step out of their comfort zones and to empathise with other people.

The Wandering

Jangan sembarang menerima pemberian, demikian nasihat orang-orang tua dulu, tapi kau telanjur meminta paket itu: hadiah sekaligus kutukan. Iblis Kekasih telah memberimu sepasang sepatu merah. Kau terkutuk untuk bertualang, atau lebih tepatnya, gentayangan. Bernaung, tapi tak berumah. Sebuah novel dengan format Pilih Sendiri Petualanganmu, Gentayangan berkisah tentang perjalanan dan ketercerabutan, memotret mereka yang tergoda batas, yang bergerak dan tersangkut, yang kabur namun tertangkap. Tergantung jalan mana yang kau pilih, petualangan terkutuk sepatu merah akan membawamu ke New York kota tikus, perbatasan Tijuana, gereja di Haarlem, atau masjid di Jakarta, di dalam taksi pengap atau kereta yang tak mau berhenti, hidup atau mati (atau bosan). Selamanya gentayangan, berada di antara, kau akan temukan cerita para pengelana, turis, dan migran tentang pelarian, penyeberangan, pencarian atas rumah, rute, dan pintu darurat. Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan.

Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu

Sihir perempuan

Tiffany Tsao

Budi Darma

People from Bloomington

Stephen J. Epstein

Adania Shibli

Billy-Ray Belcourt

Besufekad

The German word Freiraum, literally translated, means free room. Freiraum is more than just physical space though, it is also a mental state of creativity and freedom. In 1929 Virginia Woolf argued for the necessity of a "room of one’s own" for women writers: Freiraum, both literal and figurative, to think and to create. Almost a century later, having a private room is still a privilege, not only but especially for women. A virus knowing no boundaries or borders emphasized this inequality, making obvious the fierce competition for whose space is whose. Which public does this public space belong to, what are its rules, and how are they policed? Unspoken questions that are revitalizing gated communities and exclusionary zoning around the world. Who gets to claim and define public spaces? Whose rules determine how space is used and shared? How does identity shape our experience of space? With texts by Billy-Ray Belcourt, Besufekad, Intan Paramaditha, Adania Shibli. A publication of the Literary Colloquium Berlin with the kind support of the German Federal Foreign Office. The editor Priya Basil is a writer and activist. In her book "Be My Guest" she connects stories about her family’s Indian-Kenyan traditions, her British heritage and life in Germany to make a passionate plea for hospitality in Europe. Her essays have been widely published, including in Lettre International, Die Zeit and The Guardian. She is co-founder and board member of the NGO WIR MACHEN DAS. Priya is also on the advisory board of the European Centre for Constitutional and Human Rights. In 2017, she initiated and remains actively engaged with a campaign for a European Public Holiday across the continent. Her film-essay "Locked In and Out", exploring questions around citizenship, coloniality and memory culture, premiered on 16th December 2020 at the digital opening of the Humboldt Forum and is now available to watch on YouTube. Her latest book "In Us and Now, Becoming Feminist" (Suhrkamp, 2021) once again powerfully blends the personal and political.

On the politics and poetry of space

Room. Make or take?

Wędrówka

Klub Solidaritas Suami Hilang

Intan Paramaditha's stories are infused with gothic and horror themes. Depicted with a feminine sensibility, the majority of her protagonists are frequently femme fatales or madwomen in the attic who do not easily fit the social order. Her stories contain twists that both delight and disturb.

Spinner of Darkness and Other Tales

Motherhood and National Identity in Post-new Order Indonesian Cinema

Cinema, Sexual Politics, and the Experimental Nation in Post-authoritarian Indonesia

The Wild Child's Desire

Salimah, penyanyi dangdut yang bikin penasaran, hidup di kampung tempat goyang dangdut diterima, dihidupkan, sekaligus dihujat banyak orang. Tak peduli ia gadis atau janda, setiap lelaki bersumpah rela bertekuk lutut di bawah lekuk pinggulnya. Solihin, pemuda perlente yang kemudian menjadi lurah, tak menyerah sekalipun lamarannya ditolak. Sebelum mendapatkan perempuan yang jadi rebutan, sampai matipun akan ia perjuangkan. Tapi Salimah hanya menginginkan mata Haji Ahmad, guru mengajinya dulu. Mata yang terbuka lebar seperti saat memandangi Salimah membaca surat An-Nur, seperti ketika menamai perempuan itu sumber dosa. Mata yang marah dan memaksanya turun dari panggung. Mata yang ingin ia dekap ke dadanya, sampai mati. Sampai mati. Goyangnya maut. Dan hingga kini, ia masih penasaran...

Goyang Penasaran

Apple & knife

Salimah, penyanyi dangdut yang bikin penasaran, hidup di kampung tempat goyang dangdut diterima, dihidupkan, sekaligus dihujat banyak orang. Tak peduli ia gadis atau janda, setiap lelaki bersumpah rela bertekuk lutut di bawah lekuk pinggulnya. Solihin, pemuda perlente yang kemudian menjadi lurah, tak menyerah sekalipun lamarannya ditolak. Sebelum mendapatkan perempuan yang jadi rebutan, sampai matipun akan ia perjuangkan. Tapi Salimah hanya menginginkan mata Haji Ahmad, guru mengajinya dulu. Mata yang terbuka lebar seperti saat memandangi Salimah membaca surat An-Nur, seperti ketika menamai perempuan itu sumber dosa. Mata yang marah dan memaksanya turun dari panggung. Mata yang ingin ia dekap ke dadanya, sampai mati. Sampai mati. Goyangnya maut. Dan hingga kini, ia masih penasaran... Diadaptasi dari cerpen Intan Paramaditha, lakon Goyang Penasaran kini dihadirkan kepada siapa saja yang ingin menikmati, menelaah, maupun mementaskannya kembali. Goyang Penasaran: Naskah Drama dan Catatan Proses memaparkan pengalaman olektif Teater Garasi dalam mementaskan hasil adaptasi Intan Paramaditha dan Naomi Srikandi tersebut. Buku ini menjawab keingintahuan pembaca atas pertanyaan: Bagaimana proses alih wahana dari cerpen ke panggung? Bagaimana perjalanan suatu naskah drama menjadi teater? Secara mendetail catatan ini mengupas proses kreatif pemanggungan antara lain dengan menyajikan: • Cerita seniman yang terlibat perihal penulisan naskah, penyutradaraan, keaktoran, tata panggung, musik, cahaya, rias dan kostum, serta pengelolaan produksi. • Ilustrasi oleh Agung Kurniawan dan foto oleh Muhammad Amin. • Catatan pekerja seni dan pengamat antara lain: Gunawan Maryanto, Risky Summerbee, Manneke Budiman, Sapardi Djoko Damono. • Pembahasan seputar adaptasi, Ifa Isfansyah, Goenawan Mohamad, dan Mira Lesmana ikut berbagi pengalaman. • Aneka kiat dan fakta menarik terkait proses kreatif maupun seni pertunjukan. • Informasi buku dan situs penting yang berguna untuk mengembangkan pengetahuan tentang seni, sumber dana, serta seluk-beluk teater di dalam maupun luar negeri.

**A The White Review Book of the Year** A dazzling and provocative debut story collection from celebrated Indonesian writer Intan Paramaditha, putting fierce and fabulous female characters centre stage in brilliantly funny and sharp twists on fairy tale. Inspired by horror fiction, myths and fairy tales, Apple and Knife is an unsettling ride that swerves into the supernatural to explore the dangers and power of occupying a female body in today's world. These stories set in the Indonesian everyday - in corporate boardrooms, shanty towns, on dangdut stages - reveal a soupy otherworld stewing just beneath the surface. This is subversive feminist horror at its best, where men and women alike are arbiters of fear, and where revenge is sometimes sweetest when delivered from the grave. Dark, humorous, and vividly realised, Apple and Knife brings together taboos, inversions, sex and death in a heady, intoxicating mix.

Intan Paramaditha

About

Books

Join the club