Konservasi Biodiversitas Teori dan Praktik di Indonesia
Di era globalisasi ini, aspek ekonomi dalam biodiversitas seringkali menjadi focus utama yang melenakan, sehingga rentan terhadap tuntutan Negara maju yang telah lebih dulu menerapkan standar lingkungan lebih tinggi pada hasil produksi. Keadaan tersebut kerap memaksa kita menerapkan kebijakan sesuai tuntutan global, padahal banyak aspek mendasar yang harus dipertimbangkan. Jatna Supriatna, dalam pengalamannya berpuluh tahun menekuni konservasi sumber daya hayati, menegaskan pentingnya pendekatan baru yang lebih integrative dan membumi untuk konservasi biodiversitas secara tepat, kritis, dan cerdas. Dalam Konservasi Biodiversitas di Indonesia ini, Jatna menyampaikan gagasan bagaimana mengelola dan memanfaatkan kekayaan hayati Indonesia—yang tertinggi di dunia—tanpa harus merusak. Dengan menginovasi teknologi terkini, mengadopsi kearifan lokal, menginisiasi kebijakan pemerintah yang pro lingkungan dan masyarakat, serta mengadopsi metode keilmuan konservasi dan berkelanjutan, bukan tidak mungkin Indonesia tetap beriring jalan dengan tuntutan global namun tetap berpegang pada prinsip pembangunan berwawasan lingkungan. Prof. Sangkot Marzuki, Ph.D., Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Buku Konservasi Biodiversitas ini sangat relevan untuk dibaca, baik bagi birokrat, perencana pembangunan, akademisi, mahasiswa, praktisi, aktivis lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, dan semua pihak yang cinta akan alam tanah air yang sangat indah sekaligus terancam ini. Saya masih berharap dengan terbitnya buku ke-13 ini, masih akan terbit buku-buku baru karya Jatna Supriatna, yang didasarkan praktik dari teori Konservasi Biodiversitas ini, terutama dalam praktik kelola kawasan konservasi yang luasnya 27,14 juta hektar tersebut, sehingga buahnya bermanfaat untuk kemanusiaan dan peradabannya, terutama bagi manusia Indonesia. Dalam pembukaan di Bab I, Jatna Supriatna telah menyentak kita pada definisi dari “conservation”, yang berasal dari bahasa Latin gabungan dari “con” yang berarti bersama, dan “servare” yang artinya menjaga atau menyelamatkan. Tepat sekali arti kata tersebut dalam pengejawatahan nyata sampai dengan saat ini. Bahwa upaya konservasi harus dilakukan bersama-sama. Harus berkolaborasi, bermitra, bekerja sama, aksi kolektif. Tanpa itu, tidak mungkin akan berhasil. Saya lebih menekankan pentingnya membangun collective awareness atau kesadaran kolektif multipihak untuk mencapai collective action. Pak Wahjudi Wardojo, sahabat dekat Jatna Supriatna sejak membangun konsorsium Gedepahala pada tahun 1993, menemukan “rumus” agar kita berhasil dalam kolaborasi multipihak, yaitu perlunya dipedomani prinsip “3M”, yaitu mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit. Biologi Konservasi yang memiliki pendekatan “multi-inter-trans disipliner” multipihak akan menemukan tantangan yang tidak mudah dalam penerapannya di Indonesia. Terutama, terkait dengan sumbangannya dalam memberikan masukan pada kebijakan pembangunan berkelanjutan oleh pemerintah dan praktiknya, yang digerakkan oleh sektor-sektor. Kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Nawacita, yang mendorong lahirnya program perhutanan sosial yang masif, dan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, yang tertuang dalam “Sepuluh Cara (Baru) Kelola Hutan Konservasi” (2017), mungkin menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan dan pernyataan dalam bagian akhir Bab IV, tentang masih rendahnya peran-serta masyarakat dalam turut serta mengelola hutan-hutan konservasi. Ir. WiratnoM.Sc, Dirjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan