Pramoedya Ananta Toer

Candra Gautama

catatan Pulau Buru

Perawan remaja dalam cengkeraman militer

Fooder

Buku yang gila. Kerentanan yang saling bersinggungan. Pram menyebutnya sebagai surat untuk generasi pada tahun buku ini ditulis (1979), tapi saya kira masih sangat relevan hingga sekarang agar mensyukuri dan memanfaatkan perkembangan pengetahuan dan keluwesan hidup yang kita miliki kiwari. 

Setidak-tidaknya menurut saya ini adalah lima kelompok teropresi yang diceritakan di buku ini, dan mereka saling bersinggungan satu sama lain:

1. Perempuan yang diculik Jepang pada masa pendudukan Jepang
2. Masyarakat adat (kalau boleh disebut seperti itu) Alifuru
3. Perempuan di masyarakat adat Alifuru
4. Perempuan yang diculik Jepang dan menjadi bagian dari masyarakat adat Alifuru
5. Tahanan politik 65 yang diasingkan di buru

Bab terakhir buku ini memang panjang (kalau dibandingkan dengan bab-bab lain di buku ini), cukup susah dipahami karena banyak menggunakan bahasa buru. Jika diterbitkan ulang, mungkin penerbit dapat menterjemahkan percakapan-percakapan yang menggunakan bahasa buru sehingga lebih mudah dipahami oleh para pembaca. Alternatif lain adalah menyediakan kamus kecil yang disertakan pada buku seperti buku Dian Purnomo yang berjudul "Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut". Selain itu, tokoh-tokoh di buku ini memiliki banyak nama-nama singkatan sehingga harus dibaca dengan seksama agar tidak keliru. Menurut saya, editorial bisa mengenalkan tokoh-tokoh tersebut secara gamblang agar pembaca lebih mudah mengikuti cerita di buku ini.

Kirana A

Untuk pertama kalinya saya membaca buku karangan sang legendaris, Pram. Saya masih berumur 17 tahun dan biasanya hanya membaca buku-buku yang ringan saja. Sehingga, ketika saya membaca buku ini, saya sedikit kewalahan dalam memaknai setiap kalimatnya. 

Awalnya saya tertarik untuk membaca buku ini karena judulnya. Selain itu, saya sempat melihat buku ini di sebuah thread di Twitter yang menceritakan sekilas tentang sejarah perempuan-perempuan remaja Indonesia yang dipergunakan sebagai pemuas nafsu bagi tentara-tentara Jepang. 

Oleh karena itulah, saya membeli buku ini dengan harapan saya memiliki banyak informasi tentang apa yang selanjutnya terjadi pada perempuan-perempuan malang itu. 

Menurut saya buku ini tidak memuat terlalu banyak informasi yang sesuai dengan ekspektasi saya. Tapi, hal ini sudah sewajarnya mengingat peristiwa ini tak banyak diketahui oleh khalayak umum juga buku ini disusun ketika zaman belum secanggih sekarang. 

Untuk pembaca pemula seperti saya, mungkin akan sedikit kesusahan dalam memahami tiap kalimatnya. Karena bahasanya “sangat sastra” juga bercampur antara bahasa daerah Buru dan bahasa Indonesia. Banyak istilah-istilah asing juga.

Perawan remaja dalam cengkeraman militer catatan Pulau Buru

Reviews