Ratih Kumala

Pak Raja sekarat. Dalam menanti ajal, ia memanggil satu nama perempuan yang bukan istrinya; Jeng Yah. Tiga anaknya, pewaris Kretek Djagad Raja, dimakan gundah. Sang ibu pun terbakar cemburu terlebih karena permintaan terakhir suaminya ingin bertemu Jeng Yah. Maka berpacu dengan malaikat maut, Lebas, Karim, dan Tegar, pergi ke pelosok Jawa untuk mencari Jeng Yah, sebelum ajal menjemput sang Ayah.

Perjalanan itu bagai napak tilas bisnis dan rahasia keluarga. Lebas, Karim, dan Tegar bertemu dengan pelinting tua dan menguak asal-usul Kretek Djagad Raja hingga menjadi kretek nomor 1 di Indonesia. Lebih dari itu, ketiganya juga mengetahui kisah cinta ayah mereka dengar; Jeng Yah, yang ternyata adalah pemilik Kretek Gadis, kretek lokal Kota M yang terkenal pada zamannya.

Apakah Lebas, Karim, dan Tegar akhirnya berhasil menemukan Jeng Yah?

Sebuah Novel

Gadis Kretek

Baru selesai membaca buku ini dengan perasaan campur aduk. Yang pertama, sedih karena terbawa emosi yang disajikan di dalam cerita dan yang kedua, cukup senang karena tidak terlalu memberikan ekspektasi yang tinggi selama membaca buku ini. Jadi, rasanya tidak kecewa atau apapun itu. Buku ini sangat cocok untuk bacaan ringan, tapi tetap ada alur cerita yang membuat penasaran.

Terlebih lagi, ada adaptasi series dari buku ini yang digadang-gadang mempunyai aktris dan aktor hebat yang berperan di dalamnya. Secara keseluruhan, bagus!

gitsa

Baru selesai membaca buku ini dengan perasaan campur aduk. Yang pertama, sedih karena terbawa emosi yang disajikan di dalam cerita dan yang kedua, cukup senang karena tidak terlalu memberikan ekspektasi yang tinggi selama membaca buku ini. Jadi, rasanya tidak kecewa atau apapun itu. Buku ini sangat cocok untuk bacaan ringan, tapi tetap ada alur cerita yang membuat penasaran.

Terlebih lagi, ada adaptasi series dari buku ini yang digadang-gadang mempunyai aktris dan aktor hebat yang berperan di dalamnya. Secara keseluruhan, bagus!

Menarik bagaimana buku ini mengambil sudut pandang dari pihak antagonis. Beberapa plot device di sini baru pertama kali aku temui, unik! Serba serbi rokoknya informatif, penulisannya cukup ekspresif sampai rasanya hampir keicip. Suka!

baguss sekali!!! Cara penulisannya yang unik dan plot-twist yang ga ketebak sungguh dibungkus dengan apik oleh penulis. 

Nitisara Dayu Cetta

Salah satu keunikan di buku ini adalah sebuah peringatan yang biasa ada di kemasan rokok ternyata saya jumpai pula di lembar awal buku Gadis Kretek. Buku yang kaya akan perpaduan wangi tembakau dan cengkeh, sarat aroma cinta yang semerbak di setiap lembarnya. Poin penting yang jadi highlight buku ini adalah perkembangan industri tembakau serta peran wanita.

Buku ini terlampau ringan untuk genre historis. Mulai dari diksi yang ringan, alur padat namun berbobot, konflik dan bumbu romansa yang tipis-tipis, sampai plot twist mencengangkan yang menanti di akhir cerita. Penulis juga menjabarkan proses pembuatan klobot, tingwe, dan sigaret dengan begitu detail yang dikemas dalam satu kesatuan industri tembakau dengan begitu apik. Disela-sela aroma tembakau yang kuat, ada sekat berwujud nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya, yakni berlatar masa pra-kemerdekaan masa jajahan Belanda dan beberapa dialog bahasa jawa yang memperkuat latar dan nilai budaya cerita.

Yang saya sayangkan, ada beberapa adegan yang terlalu memaksa. Masih ada pertanyaan-pertanyaan di benak yang belum dijawab dan dikupas tuntas di dalam cerita. Rasanya seperti ada bagian rumpang yang dipaksa rampung. Meski tidak ada sesuatu yang menjadi poin utama selain industri tembakau, ada beberapa filosofi kehidupan dan makna yang dapat saya ambil. Buku ini cocok untuk pembaca yang baru menyelami genre historis.

Kasa

Ini buku ajaib. Semua yang cukup, terasa istimewa di sini.

Dist

To be honest, I initially didn't have too high expectations before reading this book. I was wrong. Ratih Kumala's research and way of designing the world in this book are smart—so clean and neat!

Since I can't write long reviews, I'll immediately rate this 4.5/5!

sputnik sweetheart

Farah Aisha Shabrina

this review contains 1000% LOVE, paket lengkap: gaya bahasa unik tapi masih sederhana, tapi (2) di tengah kesederhanaannya justru nyaman dibaca tapi (3) tetap ga membosankan, alur cerita BAGUS, menambah ilmu per-kretek-an dan per-klobot-an😂👍 tiada kata selain cintaaaa si gadis kretek, Jeng Yah❤️ tapi (4) rokok membunuhmu

Savour the familiar scent of clove and tobacco … for this is the aroma of Indonesia’s history. Soeraja is dying. On his deathbed he calls for Jeng Yah, a woman who is not his wife. His three sons, Lebas, Karim and Tegar – heirs to Kretek Djagad Raja, Indonesia’s largest clove cigarette empire – are shocked, and their mother is consumed by jealousy. So begins the brothers’ search into the deepest recesses of Java for Jeng Yah, to fulfil their father’s dying wish and to learn the truth about the family business and its secrets. Cigarette Girl is more than just a love story and the soul-searching journey of three brothers. Set on the island of Java the story follows the evolution of a family’s kretek, or clove cigarette, business from its birth in the Dutch East Indies of the early 1940s, and it takes readers through three generations of Indonesian history, from the Dutch colonial era to the Japanese occupation, the struggle for independence and the bloody coup of 1965 in which half a million Indonesians were hunted down and killed. Rich in detail, with characters who struggle to right the wrongs of past generations, their relationships torn apart by the viciousness of revolution and politics, Cigarette Girl introduces readers to the history of Indonesia through clove cigarettes and unrequited love.

Cigarette Girl

Emmett

I tried very hard to like this as it represented my first foray into Indonesian fiction. The blurb and the cover are products of good design and credit should be given where they are due, but there is only so much one can do when the narrative refuses to meet the reader halfway. To be blunt, the story was just a story - of events happening consecutively, of people doing mildly interesting things. An unconvincing sense of awkwardness pervades and causes dissatisfaction. It felt like a young adult trying to write adult fiction.

There were too few and fleeting references to Indonesia's independence from the Dutch, and the troubles of Indonesia's postcolonial transition, that at times it seemed inconsequential where the tale actually happened, so detached it was from the surrounding circumstances, and when they occurred came so out of the blue to be awkward. The small details anchoring the story regularly prove the most fascinating - the Javanese names for cigarettes (klobot, cone-shaped, wrapped in dried cornhusks, or the more modern kretek, clove cigarettes wrapped in thin paper), the labour-intensive manufacturing process without machinery, the rituals of weddings and child births (the family burying the placenta of a newborn and guarding it day and night, panicking when it was stolen). There should have been more of it It is a story about a small town, the growing ambitions of its local businessmen, the meeting of tradition and modesty with modernity, fairly naive young romance, a time in and out of history where politics were literally bloody. A more sensory enactment would've been riveting, the pen conjuring up smells, noises, the strange idyll created between lovers - historical fiction demands immersion as part of its charm.

The style is the story's greatest weakness. Characters and plot points were weakly propped up by too much telling and not enough showing. Kumala falters when it comes to character creation and narrative timing. The tale moves through a succession of 'X said/felt/thought this' or 'this happened and then this happened', with a distinctive lack of character/colour. There is almost no sense of interiority. Eager as the author might be to describe their interactions, frustrations and motivations, they never feel truly alive, a clumsy product of character and not person. One does not feel the steel of danger at moments of crisis or the pain of heartbreak. The modern timeline gave an interesting glimpse of Indonesia as a westernised metropolis (Bob Marley music and other Americanisms, indie film-making) but the 'protagonist', as he may be, was annoying and unlikeable. There are some fascinating turns and details - for instance, the various aspects Jeng Yah had to learn to eventually manage her own tobacco business - choosing quality cloves and tobacco, making the brand-distinctive sauce, rolling the cigarette and sealing the kretek with her own spit - those bright points of narration showed for a moment that world as it might have been and lifted the narrative from its tedious plodding.

Gadis Kretek Sebuah Novel

Reviews