Cala Ibi
“Sebuah novel yang memperkarakan hakikat nama, peristiwa dan cerita, maya dan nyata, diri dan ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu sendiri. Bahasa, setelah dieksplorasi dan dirayakan, ujung-ujungnya ia kembalikan pada ketakberbentukan kenyataan, pada kesunyian, pada kekaguman: mistisisme linguistik. Novel ini adalah salah satu puncak sastra Indonesia mutakhir.” —Bambang Sugiharto “Cala Ibi aktif secara terus-menerus melakukan invalidasi atas apapun yang mungkin dikatakan tentang dirinya. Kata-katanya bertutur tentang dirinya sendiri, tentang sastra atau, lebih tepatnya, bagaimana sebuah karya mesti dibaca.” —Manneke Budiman “Teks novel yang meta-narasi, di dalamnya ada penulisan, pembacaan, sekaligus proses narasi atau penceritaan. Diperlukan generasi yang berbeda dari generasi saya untuk menulis karakter seperti ini. Sebuah generasi yang banyak pilihan, tapi tidak kehilangan cantolan pada kenyataan. Generasi yang sangat rileks, kadang bisa serius, tapi juga bermain-main.” —Melani Budianta “Cala Ibi adalah pelaksanaan semacam gagasan matematis, misalnya saja pencerminan dan penggandaan, ke dalam bentuk sastra, dan hanya dalam bentuk inilah gagasan itu kita hayati. Rupanya, hanya pembaca yang mau memperbaharui cara bacanya yang bisa menikmati permainan Nukila.” —Nirwan Dewanto “Dari lingkungan filsafat bahasa, sumbangan Cala Ibi tidak bisa diragukan lagi. Dari lingkungan sastra, teks ini bisa menjadi kontroversial di mana tradisi realisme begitu kuat. Terlepas apakah orang akan menerima teks semacam ini atau tidak, saya melihat munculnya teks ini bisa menjadi pemacu munculnya novel des idéés di Indonesia.” —St Sunardi