Pandora
Pandora
Biografi tubuh inilah yang terasa dalam 40 sajak di kumpulan puisi Pandora ini. Lihatlah bagaimana ia mengurutkan sajak-sajak di buku ini. Dari mulai Ulat, Kepompong, Kupu-kupu, 1967, dan sajak-sajak yang mengeksplorasi tema anak (Embrio, Schipol, Pasha, Den Haag), hingga Rahib dan Jejak. Deretan sajak itu tampak seperti sebuah metamorfosis tubuh. Tubuh, di tangan penyair kelahiran ini, keluar dan bahkan meloncat dari bentuk estetiknya. Ia memperlakukan tubuh bagai sebuah menu santapan (Di meja makan kusantap tubuhku, kuteguk air mataku—sajak “Kepompong”). Inilah ketangkasan seorang Oka. Ia menulis, memendam Bali, mencangkul masa lalu, membenturkan tradisi, meringkus pengalaman hidup, dan dengan tanpa sungkan menggasak tubuhnya sendiri demi memperoleh sebuah ars poetica. Inilah “sayap kuat” sajak-sajak Oka, penulis yang menurut saya, menjadi salah satu wakil terpenting penyair Indonesia mutakhir. —Yos Rizal Suriaji, “Sebuah Menu Bernama Tubuh”, 2008.