
Reviews

Some things to note from this book 1. The letters were from her early twenties. She was a young gorl! And a refreshingly rebellious one! I love girls rightfully complaining. 2. Letter's speech is so dramatic. I love it. 3. Her ideas were indeed highly novel and revolutionary for her time. Beberapa bahkan masih diperjuangkan di masa kini. Quite satisfying and also frustrating to read in this century. Like, yass aren't you bright, but otokaji.., good luck.., but things aren't looking good.., and you'd die too soon when you just started.. the potential.. 4. The patriarchy and ageism then were atrocious. Masa adek kalo lewat kakak harus merangkak??? Not to mention budaya pingit?? Sejak umur 12?? 5. Bahwa dia memperjuangkan hak wanita untuk belajar demi menjadi ibu yang lebih baik, bukan simply untuk menguatkan posisi diri sendiri, mungkin bisa dianggap masih belum keluar dari koridor patriarki di masa kini. Tapi, menurutku ini adalah kalkulasi yang tajam dan relevan pada masanya. Nyatanya, internalisasi patriarki oleh ibu-ibu di rumah ikut melanggengkan sistem karena mereka yang mewariskan nilai-nilai tersebut pada anak-anaknya sejak usia formatif. Di beberapa titik kita bisa merasakan pula bahwa ia sudah muak dengan ajaran ini sebagai anak, dan mungkin pandangan di atas berangkat dari sini. Di masa itu, dengan minimnya akses media, ideologi sulit disebarkan secara horizontal ke orang lain, khususnya oleh wanita bahkan dengan posisi sosial yang dimiliki Kartini. Penyebaran vertikal ke anak sendiri masih sangat memungkinkan. Walaupun metode ini tidak akan mengubah dunia saat itu, masih ada harapan untuk perubahan di generasi selanjutnya. Dan mungkin, dengan tingkat opresi yang berjalan saat itu, Kartini belum bisa membayangkan sejauh apa agensi yang bisa direbut kembali oleh wanita dengan ilmu pengetahuan. Jadi seliar-liar mimpi Kartini, tentu belum sejauh yang bisa diimpikan 100 tahun kemudian. 6. Agak heran kenapa beliau yang awalnya benci poligami lantas menikah dengan riang gembira dengan laki-laki beristri. Tapi katanya istri pertamanya juga tidak sabar menunggu Kartini bergabung dengan keluarga mereka. Jadi mikir, maybe poligamy is fine if the first wife doesn't like her husband very much but adores the prospective second wife a hell lot?? Jeng jeng, I'm smelling something else hahah jk ๐. 7. Heran juga, did she know that she's living under Dutch invasion?? Kadang Kartini mengeluhkan tindak tanduk orang londo dan menyesalkan ketidak-adilan yang menimpa orang pribumi. Tapi keluhan ini hampir-hampir hanya terkait rasisme dan klasisme, bukan penjajahan. Apakah ini privilese hidup priyayi? Ironisnya, this life in a shelter was how she earned a room of her own to ponder upon her feminist endeavors. Yah, ini bikin agak bersungut-sungut, tapi tentunya tidak menafikan perjuangan-perjuangan Kartini. Selain itu, barangkali puji-pujian bagi kemajuan Eropa pula salah satu hal yang memungkinkan buku ini diterbitkan di Belanda dan meraih kesuksesan di sana (they would've loved it for their ego!), dan akhirnya sampai ke tanganku sekarang. Well, to her defense, she was corresponding with Dutch friends. She wouldn't draw conflicts on purpose even if she wanted for fear of making an enemy of her sweet confidants, and giving troubles to her beloved father. She'd talk to other people about it, if she ever did. Dan lagi, buku ini disunting oleh editor agar berfokus pada perjuangan hak dan pendidikan bagi wanita. Kalau ada bagian anti penjajahan pun, mungkin dipangkas demi alur yang kohesif. I'll give the young miss a benefit of a doubt, because with her sharpness she wouldn't miss everything wrong with colonialism, right? Right? :/ 8. The fight for women's rights is not hers alone, and the fight's not over. But I'm so proud of her that I get to read any book and pursue any degree of education that I want now (in theory). That felt good. How she'd love to see the future.