Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Tiga dalam Kayu

I don't yet understand the whole meaning of this book, yang pastinya, ciri khas buku Ziggy. Cerita-cerita awal, sampai ke akhir. Karena bacaku kepotong-potong, jadi agak lumayan lupa. Aku janji buat baca lagi lain waktu dan coba untuk paham dari hari ini. It's crazy about the murderer here, implication on SA, lainnya yang aku lupa tapi SHOCK JUGA HUFT. Honorable mention untuk perempuan-perempuan yang diceritakan di buku ini.. aku masih speechles.

Aehg

lala

Ini buku pertama Ziggy yang aku baca. Buku bahasa Indonesia pertama juga dalam beberapa bulan kebelakang. Awalnya aku antusias sekali karena aku suka kumpulan cerita pendek, tapi, sejujurnya, aku kurang suka dengan buku ini. Temanya sedikit “seram” dan tidak konvensional, banyak mengandung pembunuhan, mayat, darah dan lain-lain, tapi tidak begitu menggugah menurutku. Menurutku cerita yang berkesan hanya tentang pasangan kaya yang tidak sengaja mati dua-duanya, dan meninggalkan kekayaannya ke anak perempuan yang dikira keturunannya. Sisanya, biasa saja. Aku dengar Ziggy memang biasa menggunakan bahasa yang lebih formal dalam buku-bukunya, tapi dalam kasus buku ini malah membuat tambah ribet dan susah dinikmati.

Kasa

will reread it some day, when i have the courage

fatru tamzil

Buku ini tipis, tapi menghabiskannya butuh waktu yang lumayan lama sebab jalan cerita serta jalinan plotnya lumayan menguras pikiran dan emosi untuk diikuti. 

Tentang apa buku ini? Agak sulit digambarkan, tetapi mungkin benang merahnya adalah tentang hal-hal yang terpinggirkan dan terlupakan, baik itu dalam sejarah dan dalam perjalanan waktu secara umum. Dari kata, hingga peristiwa, hingga sosok. Utamanya:perempuan. 

Saya suka cara novel ini membingkai pembicaraan soal sejarah--bahwa sejarah adalh tentang orang, tentang sosok di dalamnya, dan secara tidak langsung membentikkan pembicaraan soal siapa yang kita bicarakan ketika membicarakan sejarah. Apa yang kita pelajari dari sejarah. 

Dan bahwa perempuan dalam sejarah seringnya menjadi catatan kaki. Saya setuju dengan resensi-resensi lain di sini: bahwa membaca novel ini membuat kita jadi tambah sadar kalau menjadi perempuan itu sulit. Ada satu paragraf dari novel ini yang sangat menimbulkan kesan di diri saya: 

"Dia anak gadis yang menyimpan banyak sekali kemarahan, dan kekecewaan. Semua gadis memang seperti itu, sepertinya. Yang menyedihkan adalah kenyataan bukanlah kenyataan bahwa anak-anak muda ini mengenal begitu banyak luka, namun betapa polemiknya kejadian ini, hingga rasa sakit mereka sudah jadi bagian dari kehidupan yang wajar. Yah, wajar saja dia getir; dia kan perempuan. Yah, sudah biasalah bagi anak perempuan untuk bersikap pahit seperti itu. Yah, tidak anehlah kalau perempuan berkata pedas seperti itu. Mau diapakan lagi? Pertanyaan terakhir ini selalu mereka tanyakan, tapi tak pernah benar-benar mereka dengar jawabannya; atau tidak mereka pertimbangkan sama sekali, atau tidak mereka praktikkan sama sekali, atau mereka lawan benar-benar dengan gagasan yang menurut mereka "alamiah" atau "ilmiah" atau apa sajalah yang merupakan pengganti kata "tepat" dalam dunia mereka, yang penting bisa menguncilkan jawaban sungguhan dari pertanyaan "mau diapakan lagi?" itu." 

Like damn, that delivered. 

Barangkali saya akan membaca lagi buku ini supaya lebih mengerti isinya. But it is, a good soup.

ℛ.

TRIGGER WARNING: harsh word, dead body/corpse, sexual harassment, death, blood, murder, physical abuse.
  
    Karung goni.
  

Penilaian saya terhadap karung goni benar-benar berubah setelah membaca buku ini. Orang-orang bilang buku ini gila, dan saya setuju dengan mereka. Selama membaca buku ini saya dibuat kaget, terdiam, merenung. Saya sempat berpikir, apakah saya akan baik-baik saja setelah membaca buku ini karena isinya yang ... benar-benar gila.

Meskipun sempat berpikir semacam, "Ini buku apa?!"
Tapi, setelah saya baca keseluruhan ada beberapa cerita yang cukup berkesan bagi saya. Bahkan saya bisa membayangkan pada era apa cerita yang sedang saya baca. Jika boleh berkata, buku ini benar-benar luar biasa. Saya cukup terkejut dengan imajinasi penulis dan membuat saya seperti, "Kok bisa terpikirkan cerita yang seperti ini?!"

Bagi saya buku ini benar-benar gila, tapi juga cukup menyenangkan.

mighty dragon 

content warnings: BLOOD, many blood. banyak pembunuhan, mayat, some get pretty graphic description. implied sexual assault. 

it's ziggy so you pretty much know what to expect especially after she said this. betul, buku ini gak ada twist mendebarkan dan bikin marah kayak kphi. tapi endingnya juga bikin marah. juri dkj pernah mereview singkat buku ini (karena naskahnya masuk ke dalam naskah-naskah yang termasuk unggul di sayembara dkj 2018) dan bilang kalau cerita-ceritanya seolah mengambil cerita-cerita lama, yang dalam hal ini aku asumsikan cerita-cerita angkatan penulis baheula, dan aku setuju. karena yang kurasakan waktu membaca 11 cerita/11 bab pertama, aku teringat tulisan-tulisan sastra lama.

ngomong-ngomong, karena sebetulnya ini disebut di sinopsis belakang buku dan aku gak baca soalnya aku gak suka baca sinopsis, 11 cerita/11 bab pertama merupakan cerita yang terpisah-pisah macam antologi cerpen namun punya benang merah yang menghubungkan semuanya. cerita bukunya sendiri ada setelah 11 bab tersebut. aku bilang ini soalnya siapa tau kalian juga gak suka baca sinopsis terus bingung apakah bab-babnya saling nyambung, kayak aku. (dan baru sadar di bab 4)

rating umurnya adalah 18+, berhubung pembaca lokal entah kenapa hanya mengira kalau 18+ = adegan seks, rating tersebut ada karena hal-hal yang kusebut di peringatan konten di atas. aku amat sangat menyarankan agar pembaca di bawah 18+ untuk menunggu sampai cukup umur buat bacanya. yang sudah berumur pun silakan baca kalau sudah sanggup soalnya dari halaman pertama, deskripsi mengenai pembunuhan dan penusukannya sudah lumayan graphic.

this book is very... thought-provoking. it makes me think a lot about being a woman and a child and what does it mean to society. will reread this someday so i can write more about it. 

def not a book that you get to call comfort book because nothing is comforting about this.

Tiga dalam Kayu

Reviews