Reviews

--- My 2023 review --- Oh wow, it's been 10 years since I first read it. With the ongoing genocide against Palestinian people in Gaza, I personally felt helpless and it drove me to re-read the book. To remind myself that this narrative, this struggle against oppression and colonialism against Israel and Zionism must prevail. Membaca ulang buku Palestine oleh Joe Sacco membuatku kembali menyadari betapa konflik sejatinya memang sudah lama terjadi. Peristiwa 7 Oktober yang memicu serangan balik Israel ke Gaza adalah puncak gunung es untuk kesekian kalinya dari berbagai episode berdarah dan memilukan yang terjadi di Palestina. Mereka hidup di dalam konflik, mereka bernapas di dalamnya, hidup di dalamnya, berjibaku di dalamnya, takut, menangis, tertawa, khawatir, berharap, putus asa, berjuang, terluka, dan mati di dalamnya. Pusaran konflik yang entah sampai kapan akan berputar terus. --- Dua kali. Dua kali Joe dihadapkan oleh pertanyaan yang bersumber dari rasa frustrasi penduduk Palestina menghadapi kenyataan hidup yang begitu pahit: "Apa guna Anda menulis tentang kami?" Kami sudah sering menerima jurnalis, wartawan, fotografer. Selama 50 tahun mereka datang dan pergi. Mencatat cerita kami, memfoto kesedihan-kesedihan kami, mewawancarai kami, lalu pergi, dan dunia kami tidak berubah. "Apa gunanya bicara denganmu?" Joe, yang menghabiskan waktu di Palestina dalam rentang waktu 1991-1992 kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu harus berkata apa menghadapi pertanyaan seperti itu. Mereka, sebagaimana yang dituliskan olehnya, tidak mau kata-kata. Mereka ingin tindakan. Mereka ingin perubahan. Mereka juga manusia dan ingin diperlakukan sebagaimana manusia. Pun, beberapa hari sebelum aku memutuskan untuk membaca ulang buku ini, beberapa temanku bertanya (dan berpendapat) soal isu Palestina. Menurut beberapa orang, membagikan cuplikan demi cuplikan penderitaan yang dialami rakyat Palestina dalam genosida kali ini adalah sesuatu yang sia-sia. Tidak akan serta merta mengubah situasi. Pun rakyat Palestina sudah demikian lamanya menghadapi hal-hal seperti ini. Aku sempat bingung menjawabnya. Menurutku, kali ini, kita tidak bisa tidak menunjukkan posisi keberpihakan kita dalam situasi segenting genosida. Tapi, aku sempat menjawab bahwa aku pun tidak sampai hati membagikan cuplikan-cuplikan penderitaan dengan alasan, aku tidak mau membagikan hal-hal yang membuat mereka seolah-olah hanya hadir dan dikenang sebagai korban belaka. Menurutku, it doesn't do them justice. Yes, they have suffered and they have suffered long enough under the occupation and incursion by the zionists, but I think...we should celebrate them as a human. Not just as a victim that should need our empathy and spotlight and then...we forget. "Apa gunanya berbicara denganmu?" Pertanyaan itu serta merta menohokku juga. Dalam setiap share-share yang kita lakukan di media sosial mengenai penderitaan rakyat Palestina, does it really do them justice? But I think, in this current situation, the answer is yes. Albeit, we have our own ways of telling their stories. Keputusanku untuk membaca ulang buku ini adalah salah satunya. To let them be heard, to give space to each of their stories, no matter how scepticism kicks, their stories deserve to be told. That way, kita akan menyadari bahwa rakyat Palestina betul-betul sudah sekian lamanya hidup dalam sebuah sistem yang sangat-sangat tidak manusiawi. Sebagaimana kita dulu pernah hidup sebagai rakyat terjajah, itulah yang kini mereka rasakan. Semua diskriminasi, semua cerita yang berat sebelah, semua pandangan merendahkan, tuduhan & penangkapan tak beralasan, semua kesulitan hidup yang terjadi karena sistem apartheid berideologi zionis. Satu lagi. Dalam diskusiku dan teman-teman terkait Palestina tadi, ku juga berpendapat bahwa isu ini adalah isu yang sangat panjang. Proses perdamaian dan resolusi konflik Palestina-Israel pernah mencapai titik terang, lalu gelap kembali dan diputar-putar balikkan entah beberapa kali selama 70 tahun ini. Dalam isu yang sangat panjang ini, penceritaan kita mengenai isu ini menjadi penting untuk terus mengangkat narasinya tetap hidup. Apa dampaknya? Mungkin beberapa hal yang bisa kujawab adalah, dalam penggambaran Joe terhadap kondisi Palestina, khususnya Gaza di era 90an, terlihat ada perubahan selama kurun waktu 30 tahun ini. Lewat narasi, setidaknya okupasi Israel diakhiri di Gaza tahun 2005 (debatable, karena beberapa berpendapat okupasi tidak pernah benar-benar berakhir), beberapa infrastruktur kesehatan, pendidikan dan infrastruktur lainnya secara umum dibangun dan diperbaiki, serta perhatian warga dunia terhadap Palestina jauh lebih besar dibandingkan dengan era 90an dulu. Mungkin, beberapa di antaranya adalah hasil dari cerita-cerita yang disampaikan 30 tahun sebelumnya kepada para jurnalis, wartawan, fotografer, dan sebagainya termasuk tentunya Joe Sacco. Ku tidak tahu apakah Joe menganggap bahwa ia (pada akhirnya) bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi ku harap, ia bisa. Begitu pun halnya dengan kita. Semoga ada pula hasil yang bisa mereka (maupun kita) rasakan dari setiap narasi, setiap kisah pilu, setiap cerita yang kita bagikan di media sosial, meskipun, entah kapan. Semoga secepatnya. From the river to the sea, Palestine will be free. (view spoiler)[--- My 2013 review --- saya baca ini udah bertahun-tahun lamanya dan baru sadar (lagi) kalo buku ini blm dimasukin di list "read" di Goodreads. Novel Grafisnya sendiri berkisah tentang perjalanan yang dilakukan Joe Sacco di Palestina. Mendatangi keluarga-keluarga Palestina dengan berbagai kisahnya. Joe juga menggambarkan adat dan budaya orang-orang Palestina yang cukup unik, seperti memberikan teh dengan gula yang banyak kepada tamu (berulang-ulang kali!) hingga tamu tersebut pulang. Joe juga sempat beradu mulut dengan orang Israel, setelah melihat kenyataan yang ada di daerah Palestina. Well, this graphic novel will give you a view of what reality they actually have. Both grim and dark, but there's hope indeed. And Joe Sacco portrays this in a very good way. (hide spoiler)]









